Selasa, 04 Juni 2013

Karena kita satu ibu

*dalam catatan ini kata-kata “Ibu Kedua” berarti PSM kita (istilahnya mbak Lulu dan Cak Roni)


Hari yang kita tunggu telah berlalu, tanggal yang setiap harinya kita lihat dan terus berharap cemas kini telah terlewati, 23 februari itu kini telah berganti. Ah betapa waktu memang tidak mau mengerti dan tidak mau berkompromi, entah apa yang membuatnya seolah memiliki dunia, dengan ketidakadilannya dalam membagi peristiwa. Empat bulan itu hanya terbayar dalam satu malam saja. Namun ternyata benar, kuantitas tidaklah sepadan dan tidak bisa disamakan dengan kualitas. Semua rasa itu benar-benar tertukar, rasa lelah yang sebelumnya ada tiba-tiba berpamitan begitu saja. Ibarat perjalanan panjang, maka titik terang itu telah kita temukan, tinggal terus melangkahkan kaki saja hingga waktu pasrah dan menyatakan bahwa kita telah menang. Karena sungguh akhir itu hanyalah kematian, maka ini barulah permulaan.



Perjalanan menuju satu malam itu ternyata tidaklah mudah. Awalnya mungkin kita berpikir bisa melakukannya hanya dengan mengurusi urusan dan bagian kita masing-masing, mengerahkan kemampuan terbaik yang kita miliki, dan berusaha memperbaiki kesalahan sendiri. Tapi ternyata tidak kawan, kamu tidak akan mampu menghadirkan tepuk tangan membahana memenuhi semesta, hanya dengan kehebatanmu seorang diri. Berusaha bernyanyi seindah mungkin atau bergoyang dan berkostum segila mungkin. Kamu tidak akan bisa maju dan melangkah jauh hanya dengan menggerakkan satu kaki saja. Tapi semua anggota badanmu harus bersinergi, “maka saat itu aku merasakan, aku hanya potongan kecil yang membutuhkan topangan, mungkin aku hanyalah senyum kecil saja, tapi aku butuh tangan yang kuat, mata yang tajam, pikiran yang benar, hati yang berani, mulut yang berfungsi tepat, jiwa yang sehat dan budi yang luhur” karena itu tidak sepaket diberikan Tuhan dalam setiap orang, melainkan ada dalam potongan-potongan manusia yang berjejer deg-degan hendak memasuki panggung saat itu. Dan puzzle yang berserakan itulah yang harus kita rangkai menjadi utuh.
Masih ingatkah saat-saat menegangkan ketika kita menunggu kostum yang belum datang? Berdiri, duduk, berjalan kayak setrika, dan tingkah aneh lainnya. Berharap cemas dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Menunggu seseorang yang akan membawa bingkisan besar berisi kostum laki-laki. Namun, saat itu aku menyimpulkan bahwa waktu benar-benar tak berperasaan, ia berjalan semakin cepat tanpa peduli berapa hati yang akan ia bunuh dengan kekecewaan jika ia terus berjalan, karena yang dinanti tak kunjung tiba. “kostum, kostum, kostum”.
Tapi tidakkah kamu melihat sisi lain dari hal itu ? di sudut ruangan yang seharusnya dipenuhi dengan rasa bangga itu, terlihat beberapa wanita cantik dengan gaun berwarna tosca telah menangis memudarkan bedak tebal dan eye liner miliknya. Bukankah seharusnya mereka tenang dan bergembira merayakan malam penuh warna yang dirayakan milikinya. Tapi mengapa mereka memilih tersedu di sudut ruangan, menanti dan berharap keajaiban kepada Tuhan ? bukankah mereka sudah siap untuk tampil memberikan yang terbaik ? bukankah dalam diri mereka sudah tidak kurang suatu apapun, gaun yang cantik, polesan bedak menawan, vokalisi dan latihan? Apalagi yang mereka risaukan? Dan sungguh inilah yang tak bisa dilogikakan, hanya  karena memang mereka tidak mungkin bisa bergerak maju sendirian. Ketika susah, cemas, resah, sedih, air mata milikku, milikkmu dan miliknya menjadi milik kita. Maka itulah yang tidak pernah kita dapatkan di manapun juga. Sungguh bukan pujian atau tepuk tangan itu orientasinya, tapi ada rasa yang benar-benar tak terbahasakan. Sebuah rasa yang kita nikmati bersama, rasa yang entah apa namanya. Yang jelas yang kutahu, rasa itu membuatmu tersenyum bahagia, maka akupun melakukan hal yang sama. Hingga kusadari di ruang transit penyanyi itu telah berubah menjadi savana meneduhkan jiwa. Bayangkan saja ketika hatimu telah benar-benar ikhlas melakukan dan memberikan terbaik bagi ibu keduamu, maka penjaga alam mana yang tak akan luluh hatinya. Aku merasakan kita berada dalam frekuensi yang sama, aku dapat merasakan senyuman yang kau paksakan karena rasa takut, takut salah, takut lupa, namun bercampur bahagia dan berbagai rasa lainnya. Sungguh aku merasa menjadi sangat mengenalmu, aku ingin membantu memikul bebanmu, karena aku tak ingin ada satupun hati yang mematikan sinarnya di malam itu. Lalu tiba-tiba saja sekelebat pertanyaan muncul mengusik pikiranku. Sampai kapan rasa ini ? apakah setelah konser ini berahir, ia masih tetap ada ? apakah tangan-tangan itu masih terulur ketika yang lainnya terjatuh ? apakah rasa ketidakmampuan dalam kesendirian itu masih ada jika yang lainnya pergi ? apakah aku, kamu, dan dia masih menjadi kita. Atau apakah setelah ini berahir, perlahan kamu melepas genggaman tanganmu ?  berpamitan dan tak lagi pulang ke tempat yang dulu kau sebut rumah dan ibu keduamu ? apa yang akan kau lakukan setelah ini ? ah bayangan bayangan itu membuatku terpaksa menitikkan air mata di dalam hati.



Lima bulan tidaklah sama dengan lima tahun kawan. Lihatlah berapa lama mereka telah  bertahan, berapa lama mereka tidak menghiraukan dirinya sendiri, ketika banyak tuntutan pribadi yang harus diabaikan ketika Ibu keduanya memanggil mereka untuk mengorbankan waktu, tenaga, diri dan sebagian hidupnya. Mungkin konser ini memang berahir, tapi cintamu pada ibu keduamu mungkinkah usai ? layaknya ibu dia memberi tanpa meminta. Memberikan tempat belajar bagi anak-anaknya, menjaga anaknya dalam satu koridor yang telah ia jamin tak keluar dari ajaran-Nya, menuntun langkahnya di masa depan, menjadikannya kebanggaan. Sedangkan sang anak hanya bisa merasakan kasih itu mengalir, membasahi jiwanya sepanjang masa. Namun, ia bebas memilih untuk tinggal merawat ibunya atau pergi meninggalkannya. Sang ibu tidak pernah menjanjikan apa-apa, tidak puisi atau permata, tidak pula intan atau berlian berkilauan. Hanya kehidupan, persaudaraan, cinta dan ilmu yang bertebaran. Ia tak mengikatmu dengan dengan janji yang mungkin tak mampu ia penuhi, ia tak merengek memintamu untuk tetap tinggal menemaninya. Tapi sesekali hanya akan terdengar sesegukannya ketika melihatmu pergi tanpa menjadi apa-apa. Karena ia akan merasa gagal, gagal dalam menjaga dan mengajarkan anak-anaknya arti hidup.



Akankah kita berlalu dan memutuskan untuk mengambil jalur hidup yang bertolak dan menjauh darinya ? menjadikannya tempat kosong yang hanya bisa dikenang ? menjadikannya sejarah yang tak berarti apa-apa. Atau menjadikannya bahan tertawaan karena tak sempat menorehkan prestasi berjuta warna dalam kehidupan ?. Walaupun dunia memiliki akhir, tapi aku yakin mozaik ini bukan ending yang tepat untuk sebuah cerita. Karena kita barulah memulai, dan perjalanan itu masih sangatlah panjang. Waktu akan berjalan, maka seperti dinamisnya dunia semua akan berganti. Kalau bukan kita siapa lagi ?...


Sriwiyanti (angkatan XIV)