*dalam
catatan ini kata-kata “Ibu Kedua” berarti PSM kita (istilahnya mbak Lulu dan
Cak Roni)
Hari
yang kita tunggu telah berlalu, tanggal yang setiap harinya kita lihat dan terus berharap cemas kini telah terlewati, 23 februari
itu kini telah berganti. Ah betapa waktu memang tidak mau mengerti dan tidak
mau berkompromi, entah apa yang membuatnya seolah memiliki dunia, dengan
ketidakadilannya dalam membagi peristiwa. Empat bulan itu hanya terbayar dalam
satu malam saja. Namun ternyata benar, kuantitas tidaklah sepadan dan tidak
bisa disamakan dengan kualitas. Semua rasa itu benar-benar tertukar, rasa lelah
yang sebelumnya ada tiba-tiba berpamitan begitu saja. Ibarat perjalanan
panjang, maka titik terang itu telah kita temukan, tinggal terus melangkahkan
kaki saja hingga waktu pasrah dan menyatakan bahwa kita telah menang. Karena
sungguh akhir itu hanyalah kematian, maka ini barulah permulaan.
Perjalanan
menuju satu malam itu ternyata tidaklah mudah. Awalnya mungkin kita berpikir
bisa melakukannya hanya dengan mengurusi urusan dan bagian kita masing-masing,
mengerahkan kemampuan terbaik yang kita miliki, dan berusaha memperbaiki
kesalahan sendiri. Tapi ternyata tidak kawan, kamu tidak akan mampu
menghadirkan tepuk tangan membahana memenuhi semesta, hanya dengan kehebatanmu seorang
diri. Berusaha bernyanyi seindah mungkin atau bergoyang dan berkostum segila
mungkin. Kamu tidak akan bisa maju dan melangkah jauh hanya dengan menggerakkan
satu kaki saja. Tapi semua anggota badanmu harus bersinergi, “maka saat itu aku
merasakan, aku hanya potongan kecil yang membutuhkan topangan, mungkin aku
hanyalah senyum kecil saja, tapi aku butuh tangan yang kuat, mata yang tajam,
pikiran yang benar, hati yang berani, mulut yang berfungsi tepat, jiwa yang
sehat dan budi yang luhur” karena itu tidak sepaket diberikan Tuhan dalam
setiap orang, melainkan ada dalam potongan-potongan manusia yang berjejer
deg-degan hendak memasuki panggung saat itu. Dan puzzle yang berserakan itulah
yang harus kita rangkai menjadi utuh.
Masih
ingatkah saat-saat menegangkan ketika kita menunggu kostum yang belum datang?
Berdiri, duduk, berjalan kayak setrika, dan tingkah aneh lainnya. Berharap
cemas dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Menunggu seseorang yang
akan membawa bingkisan besar berisi kostum laki-laki. Namun, saat itu aku
menyimpulkan bahwa waktu benar-benar tak berperasaan, ia berjalan semakin cepat
tanpa peduli berapa hati yang akan ia bunuh dengan kekecewaan jika ia terus berjalan,
karena yang dinanti tak kunjung tiba. “kostum, kostum, kostum”.
Tapi
tidakkah kamu melihat sisi lain dari hal itu ? di sudut ruangan yang seharusnya
dipenuhi dengan rasa bangga itu, terlihat beberapa wanita cantik dengan gaun
berwarna tosca telah menangis memudarkan bedak tebal dan eye liner miliknya.
Bukankah seharusnya mereka tenang dan bergembira merayakan malam penuh warna
yang dirayakan milikinya. Tapi mengapa mereka memilih tersedu di sudut ruangan,
menanti dan berharap keajaiban kepada Tuhan ? bukankah mereka sudah siap untuk
tampil memberikan yang terbaik ? bukankah dalam diri mereka sudah tidak kurang
suatu apapun, gaun yang cantik, polesan bedak menawan, vokalisi dan latihan?
Apalagi yang mereka risaukan? Dan sungguh inilah yang tak bisa dilogikakan,
hanya karena memang mereka tidak mungkin
bisa bergerak maju sendirian. Ketika susah, cemas, resah, sedih, air mata
milikku, milikkmu dan miliknya menjadi milik kita. Maka itulah yang tidak
pernah kita dapatkan di manapun juga. Sungguh bukan pujian atau tepuk tangan itu
orientasinya, tapi ada rasa yang benar-benar tak terbahasakan. Sebuah rasa yang
kita nikmati bersama, rasa yang entah apa namanya. Yang jelas yang kutahu, rasa
itu membuatmu tersenyum bahagia, maka akupun melakukan hal yang sama. Hingga kusadari
di ruang transit penyanyi itu telah berubah menjadi savana meneduhkan jiwa.
Bayangkan saja ketika hatimu telah benar-benar ikhlas melakukan dan memberikan
terbaik bagi ibu keduamu, maka penjaga alam mana yang tak akan luluh hatinya.
Aku merasakan kita berada dalam frekuensi yang sama, aku dapat merasakan
senyuman yang kau paksakan karena rasa takut, takut salah, takut lupa, namun
bercampur bahagia dan berbagai rasa lainnya. Sungguh aku merasa menjadi sangat
mengenalmu, aku ingin membantu memikul bebanmu, karena aku tak ingin ada
satupun hati yang mematikan sinarnya di malam itu. Lalu tiba-tiba saja
sekelebat pertanyaan muncul mengusik pikiranku. Sampai kapan rasa ini ? apakah
setelah konser ini berahir, ia masih tetap ada ? apakah tangan-tangan itu masih
terulur ketika yang lainnya terjatuh ? apakah rasa ketidakmampuan dalam
kesendirian itu masih ada jika yang lainnya pergi ? apakah aku, kamu, dan dia
masih menjadi kita. Atau apakah setelah ini berahir, perlahan kamu melepas
genggaman tanganmu ? berpamitan dan tak
lagi pulang ke tempat yang dulu kau sebut rumah dan ibu keduamu ? apa yang akan
kau lakukan setelah ini ? ah bayangan bayangan itu membuatku terpaksa
menitikkan air mata di dalam hati.
Lima
bulan tidaklah sama dengan lima tahun kawan. Lihatlah berapa lama mereka telah bertahan, berapa lama mereka tidak
menghiraukan dirinya sendiri, ketika banyak tuntutan pribadi yang harus
diabaikan ketika Ibu keduanya memanggil mereka untuk mengorbankan waktu,
tenaga, diri dan sebagian hidupnya. Mungkin konser ini memang berahir, tapi
cintamu pada ibu keduamu mungkinkah usai ? layaknya ibu dia memberi tanpa
meminta. Memberikan tempat belajar bagi anak-anaknya, menjaga anaknya dalam
satu koridor yang telah ia jamin tak keluar dari ajaran-Nya, menuntun
langkahnya di masa depan, menjadikannya kebanggaan. Sedangkan sang anak hanya
bisa merasakan kasih itu mengalir, membasahi jiwanya sepanjang masa. Namun, ia
bebas memilih untuk tinggal merawat ibunya atau pergi meninggalkannya. Sang ibu
tidak pernah menjanjikan apa-apa, tidak puisi atau permata, tidak pula intan
atau berlian berkilauan. Hanya kehidupan, persaudaraan, cinta dan ilmu yang
bertebaran. Ia tak mengikatmu dengan dengan janji yang mungkin tak mampu ia
penuhi, ia tak merengek memintamu untuk tetap tinggal menemaninya. Tapi sesekali
hanya akan terdengar sesegukannya ketika melihatmu pergi tanpa menjadi apa-apa.
Karena ia akan merasa gagal, gagal dalam menjaga dan mengajarkan anak-anaknya
arti hidup.
Akankah
kita berlalu dan memutuskan untuk mengambil jalur hidup yang bertolak dan
menjauh darinya ? menjadikannya tempat kosong yang hanya bisa dikenang ?
menjadikannya sejarah yang tak berarti apa-apa. Atau menjadikannya bahan tertawaan
karena tak sempat menorehkan prestasi berjuta warna dalam kehidupan ?. Walaupun
dunia memiliki akhir, tapi aku yakin mozaik ini bukan ending yang tepat untuk
sebuah cerita. Karena kita barulah memulai, dan perjalanan itu masih sangatlah panjang.
Waktu akan berjalan, maka seperti dinamisnya dunia semua akan berganti. Kalau bukan
kita siapa lagi ?...